Ketika Peradaban Islam Hadirkan Revolusi Pertanian


Kondisi alam dan cuaca memiliki pengaruh. Termasuk dalam bidang pertanian. Ranah ini menjadi perhatian umat Islam. Silih berganti ilmuwan Muslim mendedikasikan dirinya dalam menyuguhkan pemikirannya. Pada akhirnya, mereka mampu menguasai ilmu yang terkait cuaca atau meteorologi ini.

Mereka menerapkannya dalam tataran praktis, di antaranya dalam menentukan masa tanam dan panen. Sejarah mencatat, melalui penguasaan ilmu pertanian dan meteorologi, umat Islam mampu menghadirkan revolusi pertanian. Produksi pangan di berbagai wilayah seperti Baghdad, Mesir, Damaskus hingga Andalusia berlimpah.

Persentuhan dengan studi meteorologi bermula pada abad ke-9 Masehi. Dalam prosesnya, ilmuwan Muslim mendapatkan pengaruh dari pemikiran ilmuwan Yunani melalui karya mereka. Aristoteles telah membuat risalah ilmiah tentang ilmu ini pada 350 SM.

Sang filsuf yang dianggap sebagai peletak tonggak meteorologi itu menjelaskan secara perinci tentang siklus hidrologi dan cuaca. Ilmuwan Yunani lain yakni Theophrastus, mengenalkan studi peramalan cuaca pada karya bertajuk Kitab Tanda. Buku ini tetap mendominasi sebagai rujukan ilmiah selama lebih dari 2.000 tahun.

Keberadaan warisan dari peradaban kuno itu berhasil mencuri perhatian umat Islam dalam bidang tersebut. Peran signifikan terwujud melalui sosok ilmuwan bernama Al-Kindi. Ia menjadi seorang pelopor. Pemikiran itu ia tuangkan dalam sebuah Risalah fi Failali illa al-Madd wal Fazr (Risalah tentang Penyebab Efisiensi Aliran).

Salah satu tema penting yang menjadi perhatian Al-Kindi adalah mengenai angin. Ia berpendapat angin berasal dari pergerakan udara, terutama menuju ke tempat lebih rendah. Selain angin, gejala alam lain tak luput dari perhatian dan pengakajian para ilmuwan Muslim.

Pada abad ke-9 Masehi, Ibnu Doraid Al-Azdi menulis sebuah buku yang dalam terjemahan bahasa Inggris berjudul Description of Rain and Clouds. Ia menguraikan argumen ilmiah tentang hujan dan awan. Buku yang tersusun dalam 17 bab ini pun membahas perkiraan cuaca, deskripsi, gerakan, akumulasi, dan perubahan bentuk awan.

Tak sebatas itu, Ibnu Doraid menyempatkan diri melakukan klasifikasi hujan, mulai dari jenis hujan hingga dampaknya terhadap lahan dan sumber air tanah. Pada periode yang sama, Al-Dinawari (828-896) menulis Kitab al-Nabat (Book of Plants). Untuk pertama kalinya, terdapat penjelasan kaitan astronomi dan meteorologi terhadap bidang pertanian.

Pergerakan planet, bintang, matahari, dan bulan untuk menentukan awal dan akhir tiap musim kemarau atau penghujan tertulis dalam buku Al-Dinawari, termasuk fenomena alam, seperti angin, guntur, petir, salju, banjir, lembah, sungai, danau, sumur, serta sumber mata air lainnya.

Buku berjudul Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern yang ditulis Ehsan Masood menyebutkan, pada masa revolusi pertanian, memang ada kebutuhan yang besar untuk mendapatkan informasi dan data akurat untuk menentukan kapan mulai menanam dan masa panen.

Ini sejalan dengan pemikiran Al-Dinawari yang menganggap perkiraan cuaca berdasarkan suhu dan curah hujan penting bagi pertanian. Sejak saat itu, studi meteorologi pertanian yang disebut ilm al-anwa semakin berkembang pesat di dunia Islam. Ini berimbas pada semakin banyaknya karya dalam bidang tersebut.

Salah satu buku penting dalam disiplin ilmu ini adalah Kitab al-Anwa (Buku tentang Cuaca) yang dihasilkan Al-Dinawari,” ungkap Cyrill Glasse dan Huston Smith melalui bukunya The New Encyclopedia of Islam. Dengan prediksi cuaca yang kian akurat, petani menjadi sangat terbantu.

Di samping itu, ketepatan masa tanam dan panen juga diperoleh berdasarkan perhitungan kalender matahari yang di dalamnya terdapat pula beragam informasi tentang cuaca, suhu udara, tanah, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini diungkapkan sejarawan Zohor Idrisi melalui The Stellar and Lunar Keys to Medieval Muslim Agriculture.

Ia memaparkan, sebenarnya kalender yang sejenis dengan al-anwa sudah ada sejak masa pra-Islam. Kalender ini terutama dipakai oleh suku pengelana Bedouin serta bangsa Persia. Para ilmuwan Muslim kemudian memberikan sentuhan ilmiah terhadap kalender kuno tersebut.

Kemajuan ilmu astronomi menyajikan pengukuran yang lebih tepat terhadap pergerakan matahari, planet-planet, dan kaitannya dengan ilmu-ilmu lain, misalnya botani dan agronomi.Dari sini diketahui, perubahan karekteristik bulan bukan hanya memengaruhi pasang dan surut, angin, hujan, tetapi juga kesuburan tanah.

Keistimewaan kalender ini yakni memiliki ketepatan perhitungan untuk masa tanam, pemeliharaan, hingga panen. Merujuk kalender yang sudah disempurnakan, para petani hanya tinggal mengafalkan periode pergerakan benda-benda langit untuk memprediksi cuaca sebelum memulai musim tanam.

Ketepatan perhitungan ini sangat berpengaruh pada keberhasilan panen. Menurut Idrisi, kalender ini selanjutnya menjadi sebuah karya fenomenal. Pada 961 Masehi, kalender yang pada masa itu sudah digunakan secara luas di Kordoba diperkenalkan oleh Khalifah Al Hakam II kepada tiga penguasa Eropa.

Mereka adalah Raja Romawi, Otto I, pemimpin gereja ortodoks di Konstantinopel, dan pemimpin Nasrani di Yerusalem. Setelah mengetahui manfaat praktisnya untuk pertanian masyarakat, mereka merasa kagum. Selanjutnya, kalender hasil inovasi ilmiah umat Muslim tersebar luas.

Para sarjana Barat menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin dengan judul Liber Anoe, sebelum diadposi secara luas di ladang-ladang pertanian di Eropa. Itulah salah satu torehan berharga sekaligus warisan gemilang peradaban Islam pada bidang pertanian.

sumber : https://khazanah.republika.co.id/berita/pzgo35313/ketika-peradaban-islam-hadirkan-revolusi-pertanian

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ketika Peradaban Islam Hadirkan Revolusi Pertanian"

Posting Komentar